Breaking News

Aspek Zuhud dalam Kitab Nashoihul ‘Ibad

Zuhud merupakan salah satu cara yang ditempuh oleh para ulama atau Wali Allah untuk bisa mendekatkan diri kepada-Nya. Konsep zuhud sering kali disalahpahami, padahal ia adalah inti dari sikap batin seorang muslim.

Zuhud sendiri didefinisikan sebagai sikap tidak terpikat pada urusan duniawi dan berpegang teguh pada semua janji Allah. Ada pula yang mendefinisikannya sebagai sikap mengambil segala sesuatu di dunia ini secukupnya, sesuai dengan kebutuhan.

Menurut sebagian orang yang bijaksana, ada lima aspek yang dapat membantu seseorang mencapai tingkatan zuhud. Kelima aspek ini menjadi kunci untuk meraih hakikat zuhud dalam kehidupan sehari-hari.

5 Aspek Penting untuk Meraih Zuhud

1. Percaya kepada Allah SWT (Tawakal)

Aspek pertama adalah keharusan untuk selalu percaya kepada segala sesuatu atau perkara yang diberikan Allah kepada kita. Sikap ini berlaku baik ketika hal tersebut terasa baik maupun buruk bagi kita.

Kita harus tetap yakin bahwa segala hal yang diberikan Allah adalah yang terbaik dan pasti mengandung hikmah di baliknya.

Menurut Abdullah bin Mubarok, Syaqiq Al-Balkhi, dan Yusuf bin Asbat: “Sesungguhnya Zuhud adalah tidak kuatnya seorang hamba terhadap Zuhud kecuali dengan percaya terhadap Allah”.

2. Tidak Memedulikan Makhluk

Aspek ini bermakna tidak memedulikan segala ucapan ataupun tindakan orang lain kepada kita. Fokus utama seorang hamba adalah beramal sesuai kemampuannya untuk mendapatkan rida Allah SWT.

Bapak KH M. Shofi Al-Mubarok pernah berujar saat pengajian Kitab Nashoihul Ibad pada pengajian Selapanan Kamis Kliwon: “Ucapan orang lain itu tidak usah dituruti, yang terpenting kita selalu berbuat baik terus”.

3. Ikhlas dalam Beramal

Menurut Yahya bin Mu’adz, seseorang tidak akan mencapai hakikat zuhud kecuali ia memiliki tiga perkara berikut di dalam dirinya:

  • Amal tanpa bergantung: Kita beramal dengan semaksimal mungkin sesuai kemampuan, tanpa bergantung pada balasan atas pekerjaan tersebut. Kita hanya mengharapkan rida Allah semata.
  • Berkata tanpa mengharap: Kita cukup berbicara dengan tutur kata yang baik kepada seseorang, tanpa mengharapkan orang lain berbuat yang sama kepada kita.
  • Kemuliaan tanpa menjadi pemimpin: Apabila kita telah memiliki kemuliaan atau derajat yang tinggi di masyarakat, kita tidak boleh berharap untuk dijadikan pemimpin. Namun, jika mendapatkan amanah untuk menjadi pemimpin, maka jalani dengan penuh tanggung jawab.

4. Menyadari Hakikat Harta dan Musibah (Rida)

Aspek zuhud ini mengajarkan tentang bagaimana menempatkan dunia dan musibah sesuai porsinya. Hal ini sejalan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah:

عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ قَالَ:  [اَلزَّهَادَةُ فِى الدُّنْيَا لَيْسَتْ بِتَحْرِيْمِ الْحَلَالِ وَلَا إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلٰكِنَّ الزَّهَادَةَ فِي الدُّنْيَا أَنْ لَا تَكُوْنَ بِمَا فِي يَدِكَ أَوْثَقَ مِنْكَ بِمَا فِى يَدِ اللّٰهِ وَأَنْ تَكُوْنَ فِى ثَوَابِ الْمُصِيْبَةِ إِذَا أَنْتَ أُصِبْتَ بِهَا أَرْغَبَ مِنْكَ فِيْهَا لَوْ أنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ]  رَوَاهُ التُّرْمُذِيُّ وَابْنُ مَاجَه عَنْ أَبِى ذَرٍّ.

Artinya: Dari Nabi ﷺ, sesungguhnya Nabi bersabda: “Zuhud di dunia itu bukan dengan mengharamkan pada yang halal dan bukan menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia itu adalah hendaknya kamu tidak terbukti dengan harta yang ada di tanganmu lebih meyakinkan dirimu daripada harta kekayaan yang ada di tangan Allah. Dan hendaknya kamu dalam meraih pahala musibah ketika kamu tertimpa dengan musibah itu lebih disukai olehmu daripada musibah itu sendiri andai benar-benar musibah itu ditetapkan padamu”.

Intinya, zuhud adalah sikap rida dan tawakal.

Menurut Bapak KH. M. Shofi Al-Mubarok: “Apabila kita mendapatkan nikmat, maka disyukuri, dan apabila mendapat musibah, maka harus disabari”.

5. Menerima Rezeki yang Ada pada Tangan Kita (Qanaah)

Aspek ini berkaitan erat dengan sifat qanaah atau merasa cukup. Imam Junaid berkata: “Zuhud yaitu sepinya hati dari perkara yang tidak ada pada tangan kita”.

Maknanya adalah tidak adanya keinginan berlebih terhadap apa yang tidak kita miliki, dan sebaliknya, menerima serta menghargai perkara yang sudah kita miliki.

Menurut KH. Bahaudin Nur Salim atau Gus Baha, kunci bersyukur itu sederhana, yaitu jangan melihat nikmat orang lain yang berada di atas kita.

Kelima aspek di atas menjadi kunci untuk mencapai hakikat zuhud. Sebisa mungkin, kita harus berusaha untuk selalu menerima apa yang diberikan Allah dan selalu melaksanakannya dengan ikhlas tanpa mengharap apapun kecuali rida-Nya. Karena sejatinya, hidup kita di dunia ini tidak selamanya. Oleh karena itu, kita harus bisa menerima segala perkara yang diberikan kepada kita.

-intisari pengajian kitab nashoihul ‘ibad pada rutinan kamis kliwon tanggal 31 Oktober 2025/ 9 Jumadil Awal1447 H di Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo.

About Redaksi Sirbin

Check Also

Bahtsul Masail Kubro Ke-10 Se-Jateng dan DIY, Ponpes Sirojuth Tholibin Brabo Bahas Fikih Kontemporer

Brabo, sirojuth-tholibin.net – Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo sukses menyelenggarakan Bahtsul Masail Kubro ke-10 se-Jawa …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *