Wajahnya yang teduh senantiasa menggugah kerinduan setiap orang yang sempat berjumpa dengannya. Senyum tulusnya memberikan siluet ketenangan yang menderas dihati. Namun tak pernah kita tahu, betapa hidupnya telah banyak menikmati asam garam kehidupan.
Namanya Shofiyah binti KH. Abdul Mu’id Tempursari, Shofiyah membanting tulang menjadi buruh batik, menjual kelapa, atau terkadang menjual palawija. Karena hidup prihatin, maka Shofiyah muda membiasakan diri berpuasa. Sampai hidupnya telah mapan dan nyaman, beliau masih tetap istiqomah berpuasa. Beliaupun sangat menyukai orang-orang yang ahli puasa. Ketika beliau menjadi istri dari Kyai Umar Solo, setiap menjelang maghrib, terutama hari senin dan kamis, beliau sering kali memanggil para santri yang berpuasa, dan memberikan mereka makan untuk berbuka puasa. Istilah jawanya meberikan bukonan kepada para santri.
Kini semua orang yang sempat mengenalnya, santri-santrinya, terutama cucu-buyutnya menyebutnya sebagai Mbah Ti atau Mbah Putri. Karena sosoknya yang penyayang dan hangat , membuat setiap orang merasa dekat dengannya. kediamannya pun tidak pernah sepi, banyak orang-orang yang bertamu di rumahnya. Jika kondisinya sehat, tak jarang beliau menemani abdi ndalemnya memasak didapur untuk keperluan santri.
Mbah Ti seringkali memberikan oleh-oleh kepada para tamu, sebagai tanda tresno (wujud kegembiraan). Yang kerap diberikannya juga benda-benda yang sangat bermanfaat yaitu sarung untuk yang laki-laki dan mukena atau rukuh untuk yang perempuan, kadang-kadang juga kain batik. Ketika persediaan mukena habis, beliau sering membeli atau kulakan kepada Bu Asy’ari demi ngelarisi dagangnya, untuk kemudian dijual lagi. Tapi mukena tersebut lebih banyak dibagi-bagikan kepada tamu, atau orang-orang yang sowan daripada dijual.
Ketika ditanya mengenai hobinya memberi hadiah berupa mukena (rukuh) kepada para tamu, beliau menjawab “Ngamal ibadahku iki mung setitik (sedikit), rukuh iku isone mung kanggo ngibadah (sholat), tujuanku ben aku kecipratan ganjaran wong seng nganggo rukuh iku mau”. (Amal ibadahku hanya sedikit, jika memberi mukena pastinya akan digunakan untuk sholat, tujuanku supaya aku turut mendapat pahala orang-orang yang menggunkan mukena itu) Subhanallah…
Beliau memang dikenal sangat gemar memberi hadiah kepada orang lain, terutama kepada orang-orang yang hafal Al-Qur’an. Sampai-sampai jika ada orang sowan membawa rombongan santri yang hafal Al-Qur’an, rombongan santri itu semuanya mendapat hadiah dari Mbah Ti. Meski Mbah Ti bukan seorang yang hafal Al-Qur’an, namun kecintaannya kepada orang-orang yang hafal Al-Qur’an luar biasa besar. Terbukti jika kerabat, cucu, atau orang-orang yang dekat dengannya berhasil menghatamkan Al-Qur’an, Mbah Ti selalu memberi hadiah. Bahkan abdi ndalemnya jika khatam Al-Qur’an, mendapat hadiah yang lebih istimewa dari pada yang lainnya, karena mereka selalu membantu Mbah Ti.
Disamping mencintai orang-orang yang hafal Al-Qur’an, beliau termasuk orang yang istiqomah membaca Al-Qur’an. Sehingga beliau lanyah, dan sangat teliti terhadap bacaan-bacaan Al-Qur’an. Bahkan ketika putrinya (Ibu Maimunah) seman 30 juz, beliau menyimak dari kamar. Setelah selesai beliau berkata “Iki mau ono seng salah, tapi kok ora ono seng mbenerke?”. Setelah diteliti menggunakan rekaman yang ada, memang benar di suatu ayat ada yang salah. Mbah Ti yang berada dikamar justru lebih teliti dibanding orang yang menyimak didepan Ibu Maemunah.
Kecintaanya terhadap orang-orang yang hafal Al-Quran juga Nampak ketika beliau bermimpi ada tujuh rembulan berjejer rapi, ternyata esoknya ada tujuh orang tamu yang hafal Al-Qur’an, yaitu KH. Arwani Kudus, KH. Sya’roni, KH. Ulin Nuha, Bu Ismah, KH. Ulil Albab, KH. Manshur, dan santri penderek yang yang juga hafal Al-Qur’an.
Mbah Ti juga pernah bermimpi, bahwa ada rembulan yang jatuh di belakang masjid, mimpi itu seolah menjadi tanda bahwa ada seorang yang hafal Al-Qur’an yaitu Kyai Umar (suaminya) wafat dan kemudian di makamkan di belakang masjid tempat bulan tadi jatuh.
Mbah Ti adalah sosok yang selalu menghiasi bibirnya dengan dzikir dan shalawat. Bahkan setiap maghrib, beliau tidak pernah beranjak dari sajadahnya untuk wirid dan dzikir sampai waktu ‘isya tiba. Setiap bepergianpun beliau sedikit sekali berbicara (ngendikan) kecuali mengucap sholawat atau manaqib Syekh Abdul Qodir Al-Jilany. Sehingga setiap bepergian, beliau selalu membawa manaqib, map yang berisi sholawat-sholawat, dan tak ketinggalan tasbih. Jika salah satu dari benda-benda itu tertinggal, meskipun perjalan sudah lumayan jauh, beliau tetap memilih untuk kembali lagi ke rumah mengambil benda yang tertinggal itu.
Hal diatas, menunjukan bahwa sosok Mbah Ti sangat mencintai setiap insan, Bagiinda nabi agung Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dimanapun beliau berada dan dalam keadaan seperti apapun, Mbah Ti selalu melafadzkan shalawat. Sehingga tak jarang, beliau bertemu Kanjeng Nabi lewat mimpi. Sampai tanganya berbau sangat wangi dan harum, usai bertemu Kanjeng Nabi. Biasanya, setelah bertemu Kanjeng Nabi, Mbah Ti mengadakan syukuran serta membagikan uang kepada orang-orang, sebagai wujud syukur kepada Allah, dan kecintaan yang tinggi terhadap Rasul-Nya.
Sosok perempuan yang menjadi sesepuh Pondok Pesantren Al-Muayyad itu telah banyak membekaskan kesan baik dihati setiap orang yang menjumpainya, seolah ada sebuah ketentraman hati yang dapat dirasakan ketika bertemu Mbah Ti, mungkin karena beliau selalu melantunkan shalawat kepada Nabi. Namun kini, kita tak dapat lagi menatap wajah teduh dan senyum tulusnya yang selalu mengundang rindu. Ya, Mbah Ti telah pergi meningglakn kita semua pada tanggal 03 Januari 2009 lalu.
Meski Mbah Ti telah pergi, semoga kenangan-kenangan bersamanya, kisah-kisah tentangnya dapat menjadi teladan bagi kita semua, dapat meningkatkan kecintaan kita kepada nabi besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Mbah Ti yang akan selalu dirindukan, semoga beliau mendapat tempat mulia disisi Allah, amin..
Al-Fatihah
Oleh: Kuny Manisa, Alumni 2013
Mbak Nisa’ adalah cucu Mbah Ti, tentu saja sangat paham dengan beliau, saya sendiri lama menemani beliau, sejak saya nyantri di Al Muayyad, setiap pulang sekolah saya sowan dan selalu diminta beliau memaknai pegon atau makna berbahasa jawa pada sholawat-sholawat yg beliau biasa baca, jika saya ngaji mau mengaji kitab kuning baru beliau selalu membelikan kitab tersebut bahkan saat saya mondok di Lirboyo Kediri saya dibelikan beberapa kitab seperti Shahih Bukhori, Jam’ul Jawami’, Al Adzkar Annawawiyyah, dll. Kisah kebaikan beliau tak akan pernah selesai diceritakan karena sangat banyak sehinga semua yang mengenal beliau pasti merasa sangat dekat. Lahal faatihah
subhanallah,semoga kita semua bisa meniru kebaikan mbah ti dan sering mengucap lafal shalawat nabi,aamiin