Oleh: Salik Bahrudin
Sirene mobil ambulance terus terbunyi. Orang-orang berlari menuju mobil. Teriakan sahut- menyahut disertai tangisan histeris. Mobil tersebut telah sampai di tujuannya. Disana, sudah berdiri orang-orang yang menunggu mobil tersebut. Dikeluarkanlah seseorang yang berbaring diatas ranjang dengan diselimuti kain putih. Datanglah seseorang yang sangat aku kenal wajahnya. Wajah penuh kasih sayang, wajah ibuku. Dia datang dengan tangisan yang penuh isak. Dia membuka kain putih tersebut. Terlihatlah wajah orang yang berbaring tersebut. Astaga!!, wajahnya. Wajah yang sangat familiar. Wajah yang menemani kehidupanku selama ini. Wajahku!! akhirnya aku mulai mengerti.
***
“Kamu bisa memulainya dulu Sanaf!!”, bos menyuruh.
“Aku tidak pernah bisa menjadi yang pertama. Disana gelap, banyak jalanya, aku tidak hafal jalan yang benar”, ujarku.
“Ayolah, aku dulu juga seperti kamu, tapi aku mau mencobanya, hanya dengan kemantaban dan keberanian” ujar Fatir, senior pekerja disini.
Akhirnya aku pun masuk. Aku membawa senter, belencong, helm, palu, dan sedikit bekal. Mulailah aku menelusuri terowong-terowongan gelap. Ada banyak jalan yang sudah dibuat. Aku bersama 5 orang lainnya yang juga menjadi pekerja tambang. Ya, menambang. Itulah keseharianku. Dengan peralatan seadanya dan kemampuan yang terbatas, kami terus berharap mendapatkan emas. Aku terus berjalan ke depan. Akhirnya kami sampai di ujung terowongan. Kami berjalan dengan hati-hati diatas genangan air setinggi lutut. Kami langsung bergegas pada pencarian kami. Emas. Ya, itu yang kami cari.
“Ayo kita mulai teman-teman! Percaya kita dapat emas!”, komando bosku.
Aku mulai memainkan belencongku. Gali, terus gali. Keringatku keluar dengan deras. Semua tenaga aku kerahkan. Menambang adalah pekerjaan keras. Gelapanya ruangan ditambah udara yang sedikit semakain menjadikan beratnya pekerjaan ini. Aku terus mengetukkan belencongku. Begitu juga dengan teman-temanku. Mereka bekerja dengan semangat. Tiba-tiba, terdengar suara retakan. Krek…krek…. Suaranya semakin terdengar jelas. Terus bergetar dengan hebat. Astaga, gempa bumi!!. Kami berada di dalam tanah.
“Semuanya, segera tinggalkan tempat ini!! Kita tidak akan punya lagi kesempatan!”, bosku berteriak. Kami semua berlari keluar. Rasa panik dan risau tidak bisa tertahankan. Batu-batu diatas kami mulai runtuh. Kami berlari secepat mungkin. Pondasi buatan yang kurang kokoh menjadikan tempat ini semakin mudah roboh. Batu-batu besar jatuh menimpa jalan depan kami. Jalan tertutup total. Aku menatap ngeri. Batu-batu diatas kami kami runtuh. Menimpa kami semua. kepalaku berlumuran darah. Aku tergeletak lemas. Batu-batu terus menimpaku. Sampai aku merasa semua badanku telah remuk. Semuanya gelap. Mataku tertutup.
***6 PENAMBANG DITEMUKAN TEWAS TERTIMBUN TANAH. Topik tersebut menjadi berita trending hari ini. Para penambang ilegal tertimbun tanah dan bebatuan saat terjadi gempa bumi bersekala 6,3 SR. Polisi menemukan mereka pada kedalaman 10-15 m dibawah permukaan tanah. Mereka mendapatkan laporan dari warga sekitar. Para polisi terheran-heran jika tempat tersebut terdapat pertambangan. Tambang ilegal semakin banyak ditemukan di penjuru negri. Pemerintah sudah berusaha mengingatkan akan bahaya yang ditimbulkan dari pertambangan ilegal. Mulai dari keselamatan para pekerja hingga lingkungan yang dirusaknya. Polisi menemukan selembar kertas lusuh di kantong salah satu penambang yang berinisial S. Kertas tersebut tertulis “Biarkan aku menjadi yang terakhir… ”