Dikisahkan pada suatu hari di sebuah desa, ada seorang pemuda yang sedang berdiskusi bersama dengan temannya. Keduanya sedang mendiskusikan sebuah ayat Al-Qur’an yakni surat Hut ayat 6 yang berbunyi
۞ وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
[ هود: 6]
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh). [Hud: 6]
Keduanya saling memberikan argumen mesing-masing. Di tengah perdebatan seru keduanya, salah seorang dari keduanya melihat seekor burung yang sayapnya terpatah. Keduanya pun mengamati gerak-gerik burung yang tanganya terluka itu. Keduanya pun berfikir, apakah dengan sayap yang terluka burung itu dapat mencari makan sedangkan ia sendirian. Tak lama kemudian datanglah seekor burung lain dengan membawa makanan untuk diberikan kepada burung yang terluka.
Dengan kejadian yang tidak sengaja mereka temukan, salah satu dari keduanya berasumsi bahwa rezeki itu sudah diatur oleh Allah Ta’ala sehinga kita tidak perlu repot-repot mencarinya kesna kemari. Merasa kurang puas dengan apa yang diutarakan oleh temannya ia pun menanyakan perihal tersebut kepadaseorang ulama’. Sang ulama pun menberikan jawaban bahwa walaupun rezeki sudah diatur oleh Allah Ta’ala bukan berarti kita diam saja untuk bisa mendapatkannya, akan tetapi harus disertai dengan ikhtiar atau usaha. Ikhtiarnya apa?, yaitu dengan bekerja keras.
-dikutip dari KH. Muhammad Shofi Al-Mubarok saat mengaji kitab Bidayatul Hidayah
Fardan Arjab