sirojuth-tholibin.net – Dalam dinamika kehidupan pesantren, menjadi santri bukan sekadar status, melainkan sebuah nilai. Santri sejati adalah mereka yang membawa harga diri dan value dalam perjalanan mencari ilmu. Dalam sebuah pengajian, disampaikan bahwa di antara kelompok manusia yang paling membutuhkan kesabaran adalah para pencari ilmu—santri.
Ungkapan dalam kitab Fawaidul Mukhtar menyebutkan, “Aḥwaju an-nās ilā aṣ-ṣabr ṭālibul ‘ilm.” Yang artinya, “Orang yang paling membutuhkan kesabaran adalah penuntut ilmu.” Maka tidaklah berlebihan bila kesabaran menjadi ruh utama dalam kehidupan seorang santri.
Sabar dalam Proses Mencari Ilmu
Seringkali, generasi hari ini ingin serba instan, termasuk dalam menuntut ilmu. Padahal, ilmu bukan barang cepat saji. Ia butuh proses, pengorbanan, dan ketekunan. Para ulama klasik pun mengingatkan bahwa salah satu syarat mendapat ilmu adalah ṣabr (sabar).
Seorang santri harus rela menghadapi lelah, jenuh, bahkan kadang merasa tidak paham meskipun sudah belajar berulang kali. Namun, jangan berkecil hati. Karena sejatinya, ilmu itu seperti benih yang ditanam: tidak semuanya tumbuh bersamaan. Ada yang cepat tumbuh, ada yang lambat. Semua butuh waktu, dan semua butuh sabar.
Bahkan dalam proses belajar yang dirasa sulit, menurut sebagian ulama, terdapat dua pahala: pahala belajar dan pahala menghadapi kesulitan. Maka jangan putus asa.
Imam Hanafi pernah mengingatkan, jika seseorang terus-menerus tidak paham dalam belajar, bisa jadi ada dosa yang menjadi penghalang. Solusinya? Bertobatlah kepada Allah, bersihkan diri. Karena “al-‘ilmū nūrun wa nārullāhi lā yuhdā li ‘āṣi”—ilmu itu cahaya dan cahaya Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat.
Sabar dalam Menghadapi Guru
Adab terhadap guru adalah kunci keberkahan ilmu. Dalam ceramah disampaikan bahwa santri harus melihat gurunya dengan pandangan penuh penghormatan. Tidak boleh su’udzon (berprasangka buruk), meskipun terkadang metode atau sikap guru terasa “tidak biasa.”
Jika guru berkata atau bersikap yang terkesan janggal, maka santri harus mentakwil dengan kebaikan. Jangan makan mentah-mentah apa yang tampak buruk. Karena ketika takzim (penghormatan) kita terhadap guru luntur, maka keberkahan ilmu juga akan ikut hilang.
Bahkan dalam Al-Qur’an, ketika Nabi Ibrahim menyebutkan nikmat dari Allah, beliau tidak menisbatkan “sakit” itu dari Allah, tapi berkata: “Wa idzā maridṭu fa huwa yashfīn.” “Dan ketika aku sakit, maka Dialah (Allah) yang menyembuhkan.” Ini menjadi pelajaran bahwa hal buruk tidak boleh dinisbatkan kepada yang kita muliakan—termasuk guru.
Sabar dalam Berteman
Berteman di pesantren kadang jadi faktor utama betah atau tidaknya seorang santri. Tapi banyak pula yang justru mundur karena tidak kuat menghadapi teman yang “toxic”. Di sinilah pentingnya kesabaran dalam bersosialisasi.
Namun, jika pertemanan membuat kita jauh dari tujuan utama—mencari ridha Allah—maka tidak mengapa memutus pertemanan secara bijak. Bukan dengan permusuhan, tapi dengan manajemen pergaulan yang sehat. Istilahnya sekarang: cut off, namun tetap menjaga silaturahmi dan akhlak.
Santri juga diingatkan untuk menjaga kemuliaan dengan menjomblo selama proses belajar. Karena jomblo bagi santri adalah “jomblo fī sabīlillāh”, sebuah bentuk kemuliaan yang menunjukkan kesungguhan dalam mencari ilmu.
Menjadi santri bukan jalan ringan. Tapi jalan yang penuh keberkahan bagi mereka yang mampu menempuhnya dengan sabar. Sabar dalam belajar, sabar terhadap guru, dan sabar dalam bersosialisasi. Karena di balik kesabaran, Allah janjikan kedudukan mulia.
Sebagaimana firman-Nya:
“Wa ja‘alnā minhum a’immatan yahdūna bi-amrinā lammā ṣabarū.”
“Kami jadikan di antara mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk atas perintah Kami, karena mereka bersabar.” (QS As-Sajdah: 24)
– intisari Dialog Interaktif bersama Cak Ahmad Kafa dan Ning Sheila Hasina dengan tema Bangga Menjadi Santri
Sirojuth Tholibin Situs Resmi Ponpes Sirojuth Tholibin, Brabo.