Di sebuah negeri jauh pada masa yang telah lama berlalu, hiduplah seorang guru bijak, beliau merupakan guru dari syaikh Abu Mansur al-Maturidi. Usianya telah menginjak 80 tahun, dan tubuhnya yang renta mulai melemah oleh waktu. Namun, cahaya kebijaksanaan di matanya masih tetap menyala, menyinari hati para muridnya.
Suatu hari, ketika gurunya terbaring lemah karena sakit, ia memanggil Abu Mansur, murid yang paling dekat dengannya. Dengan suara yang pelan dan nafas tersengal, sang guru berkata, “Wahai Abu Mansur, pergilah. Carilah untukku seorang budak yang usianya sama sepertiku—80 tahun. Belilah dia, lalu merdekakanlah sebagai hadiah dariku untuk akhir hidup ini.”
Abu Mansur pun mengangguk, walau dalam hatinya tumbuh pertanyaan. Namun, ia tidak membantah. Ia tahu, di balik setiap perintah sang guru, selalu tersimpan hikmah yang dalam.
Ia berkeliling pasar dan pelosok kota, bertanya pada setiap orang yang dijumpainya, “Tahukah kalian, di mana aku bisa menemukan seorang budak yang telah berusia 80 tahun?”
Orang-orang terdiam sejenak, lalu menjawab dengan keheranan, “Wahai Abu Mansur, bagaimana mungkin ada budak setua itu? Jika seseorang telah hidup selama 80 tahun, pastilah ia telah lama dimerdekakan.”
Hari itu, Abu Mansur kembali kepada gurunya dengan tangan kosong. Ia sampaikan apa yang dikatakan orang-orang di luar sana. Bahwa tak ada budak berusia 80 tahun, karena pada usia itu, kebanyakan dari mereka telah bebas.
Sang guru tak tampak kecewa. Ia hanya tersenyum lembut, lalu perlahan meletakkan keningnya ke tanah. Dalam hening, ia bersujud lama, dan dari hatinya yang dalam, terbitlah sebuah munajat:
“Ya Allah, tak ada budak yang berusia 80 tahun, kecuali ia telah dimerdekakan. Maka aku pun telah berusia 80 tahun, bagaimana mungkin Engkau tidak memerdekakanku dari api neraka-Mu? Sedangkan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Dermawan, Maha Agung, Maha Pengampun, dan Penerima syukur.”
Sujud itu bukan sekadar gerakan, tetapi pengakuan seorang hamba yang tulus. Ia tak meminta dunia, tak mengeluh atas sakitnya. Ia hanya memohon kemerdekaan sejati—kemerdekaan dari murka Tuhan. Dan sebagaimana dalam kisah para kekasih-Nya yang penuh rahmat, Allah pun menjawab doa sang guru. Ia memerdekakannya—bukan dari rantai dan belenggu, tapi dari api neraka yang ditakutkan oleh jiwa-jiwa yang suci.
Sejak saat itu, kisah ini hidup dari lisan ke lisan. Diceritakan kembali di majelis ilmu, di antara barisan santri, hingga ke telinga orang-orang yang rindu kepada Allah. Karena dari kisah sederhana ini, kita belajar satu hal: bahwa ketika usia telah lanjut dan amal telah tertulis, harapan kepada kasih sayang Allah adalah sebaik-baik bekal menuju akhir
Sirojuth Tholibin Situs Resmi Ponpes Sirojuth Tholibin, Brabo.